Rabu, 29 Februari 2012

Mereka yang Buta "Mata Ruhaninya" & Makna Hakiki Gelar "Khaataman Nabiyyiin" Nabi Besar Muhammad Saw.


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

 
HUBUNGAN  NABI YUSUF A.S. 
DENGAN
NABI BESAR MUHAMMAD SAW.
  
Bagian   XLXXIII (Tamat)
 
Tentang

         
Mereka yang Buta "Mata Ruhaninya" &
Makna Hakiki Gelar "Khaataman Nabiyyiin" 
Nabi Besar Muhammad Saw. 
     
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma

وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ  اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ   اَعۡمٰی  وَ اَضَلُّ  سَبِیۡلًا ﴿۷۳
Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat  pun  ia akan buta juga  dan bahkan  lebih tersesat dari jalan. (Bani Israil [17]:73).

Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai keprihatinan besar yang diperagakan oleh Nabi  Besar Muhammad saw. -- sehingga Allah Swt. telah menasihati  dan juga memuji  beliau saw. dengan  pujian yang bernada “teguran” --  dan tentang tidak perlunya  melakukan berbagai bentuk paksaan dan kekerasan secara fisik dalam masalah agama, terutama agama Islam, firman-Nya:
لَعَلَّکَ بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ اَلَّا یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿۴   اِنۡ نَّشَاۡ نُنَزِّلۡ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ السَّمَآءِ  اٰیَۃً فَظَلَّتۡ اَعۡنَاقُہُمۡ  لَہَا خٰضِعِیۡنَ ﴿۵   وَ مَا یَاۡتِیۡہِمۡ مِّنۡ ذِکۡرٍ مِّنَ الرَّحۡمٰنِ مُحۡدَثٍ  اِلَّا  کَانُوۡا عَنۡہُ  مُعۡرِضِیۡنَ  ﴿۶  فَقَدۡ کَذَّبُوۡا  فَسَیَاۡتِیۡہِمۡ  اَنۡۢبٰٓؤُا مَا کَانُوۡا  بِہٖ  یَسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿۷
Boleh jadi engkau akan membinasakan diri sendiri  karena mereka tidak mau beriman. Jika Kami menghendaki, Kami dapat menurunkan kepada mereka suatu Tanda dari langit  sehingga leher-leher mereka akan tertunduk kepadanya.    Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka peringatan yang baru  dari Tuhan Yang Maha Pemurah melainkan mereka selalu berpaling darinya.   Maka  sungguh  mereka  telah mendustakan, tetapi segera datang kepada mereka kabar-kabar mengenai apa yang  mereka perolok-olokkan. (Al-Syu’araa [26]:4-7).

Orang-orang yang  “Mata Ruhaninya” Buta

     Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang yang “buta mata ruhaninya” tersebut:
وَ کَاَیِّنۡ مِّنۡ اٰیَۃٍ  فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ یَمُرُّوۡنَ عَلَیۡہَا وَ ہُمۡ عَنۡہَا مُعۡرِضُوۡنَ ﴿۱۰۶ وَ مَا یُؤۡمِنُ اَکۡثَرُہُمۡ بِاللّٰہِ  اِلَّا وَ ہُمۡ مُّشۡرِکُوۡنَ ﴿۱۰۷
Dan betapa banyak Tanda-tanda di seluruh langit dan bumi yang mereka melaluinya tetapi mereka itu berpaling darinya.  Dan kebanyakan dari mereka sama sekali tidak beriman  kepada Allah, melainkan pada waktu yang sama mereka itu mempersekutukan Dia.      (Yusuf [12]:106-107). 
       Ayat ini menunjuk kepada perbedaan yang bersifat pokok antara sikap orang beriman dan orang kafir. Di mana orang beriman berjalan dengan mata terbuka dan siap-siaga untuk menangkap isyarat sekecil-kecilnya pun dari Allah Swt. – sehingga  Allah Swt. menyebut mereka  “orang-orang yang berakal” (QS.3:191-195) --  sedangkan orang yang tak beriman bertingkah laku seperti orang buta, yang tidak mau mengambil faedah dari tanda-tanda jelas dan nyata sekali pun.
       Mengisyaratkan kepada orang-orang yang “mata ruhaninya buta” seperti itulah firman Allah Swt. berikut ini:
وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ  اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ   اَعۡمٰی  وَ اَضَلُّ  سَبِیۡلًا ﴿۷۳
Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat  pun  ia akan buta juga  dan bahkan  lebih tersesat dari jalan. (Bani Israil [17]:73).
       Mereka yang tidak mempergunakan mata ruhani mereka dengan cara yang wajar di dunia ini akan tetap  luput dari penglihatan ruhani di dalam akhirat. Al-Quran menyebut mereka yang tidak merenungkan Tanda-tanda Allah serta tidak memperoleh manfaat darinya.  Orang-orang seperti itu di alam akhirat pun akan tetap dalam keadaan buta. Firman-Nya lagi:
وَ مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ  اَعۡمٰی ﴿۱۲۵ قَالَ رَبِّ  لِمَ حَشَرۡتَنِیۡۤ  اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ  بَصِیۡرًا ﴿۱۲۶  قَالَ  کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا ۚ  وَکَذٰلِکَ  الۡیَوۡمَ  تُنۡسٰی ﴿۱۲۷ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ  یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی  ﴿۱۲۸
"Dan  barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.  Ia berkata: "Ya Tuhan­ku, mengapa Engkau mem­bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal sesungguhnya dahulu aku dapat melihat?”  Dia  berfirman: "Demi­kianlah telah datang kepadamu Tanda-tanda Kami, tetapi engkau melupakannya, dan demikian pula engkau dilupakan pada hari ini."   Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang me­langgar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Tuhan-nya, dan  niscaya azab  akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. (Thaa Haa [20]:125-128).

Makna “Mata Ruhani” yang Buta

 Seseorang yang sama sekali tidak ingat kepada Allah Swt. di dunia serta menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya, dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt.  dan  akan dilahirkan dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat. Hal itu menjadi demikian  karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai badan bagi ruh yang lebih maju ruhaninya di alam akhirat - telah menjadi buta, sebab ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini.
Sebagai jawaban terhadap keluhan orang kafir mengapa ia dibangkitkan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya ia memiliki penglihatan, Allah Swt  akan mengatakan bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya di dunia sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka di hari kemudian ia dilahirkan buta.
Ayat ini dapat pula berarti bahwa karena orang kafir tidak mengembangkan dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi dan tetap asing dari  Sifat-sifat itu, maka pada hari kebangkitan — ketika Sifat-sifat Ilahi itu  akan dinampakkan  dengan segala keagungan dan kemuliaan — ia sebagai seseorang yang  asing dari Sifat­-sifat itu  tidak akan mampu mengenalinya dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada Sifat-sifat Ilahi itu.      
  Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai “kebutaan mata ruhani” mereka, sehingga mereka benar-benar tidak dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah kaum purbakala yang telah dibinasakan Allah Swt. akibat mendustakan dan menentang para Rasul Allah yang diutus di kalangan mereka:
اَفَلَمۡ یَہۡدِ لَہُمۡ کَمۡ اَہۡلَکۡنَا قَبۡلَہُمۡ مِّنَ الۡقُرُوۡنِ یَمۡشُوۡنَ فِیۡ مَسٰکِنِہِمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ  لَاٰیٰتٍ  لِّاُولِی  النُّہٰی ﴿۱۲۹﴾٪
Maka apakah tidak  mem­beri petunjuk kepada mereka   berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, mereka berjalan-jalan di tempat-tempat tinggal mereka yang telah hancur? Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu benar-benar ada Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Thaa Haa [20]:129).

Makna “Putus Asa” Rasul Allah dan Para Penentangnya

       Kembali kepada kepada Surah Yusuf, sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Allah Swt.  berfirman:
اَفَاَمِنُوۡۤا اَنۡ تَاۡتِیَہُمۡ غَاشِیَۃٌ مِّنۡ عَذَابِ اللّٰہِ  اَوۡ  تَاۡتِیَہُمُ السَّاعَۃُ بَغۡتَۃً   وَّ ہُمۡ  لَا  یَشۡعُرُوۡنَ ﴿۱۰۸  قُلۡ ہٰذِہٖ سَبِیۡلِیۡۤ  اَدۡعُوۡۤا  اِلَی اللّٰہِ ۟ؔ عَلٰی بَصِیۡرَۃٍ  اَنَا  وَ مَنِ اتَّبَعَنِیۡ ؕ وَ سُبۡحٰنَ اللّٰہِ  وَ مَاۤ   اَنَا مِنَ  الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿۱۰۹  
Apakah mereka merasa aman terhadap kedatangan azab  dari Allah yang sangat dahsyat  kepada mereka,    atau Saat yang dijanjikan itu datang dengan tiba-tiba kepada mereka dan mereka tidak menyadari? Katakanlah, hai Rasulullah:  ”Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku memanggil kepada Allah berdasarkan  dalil yang nyata. Dan Maha Suci Allah, dan aku   sekali-kali bukan dari golongan orang-orang musyrik. (Yusuf [12]:108-109).
       Kepercayaan buta dan tanpa dipikir, dan yang tidak didasarkan atas alasan-alasan sehat serta keyakinan yang kuat, tidak ada harganya dalam pandangan Allah Swt., itulah makna kalimat  ‘alaa bashiiratin.  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ مَاۤ  اَرۡسَلۡنَا مِنۡ قَبۡلِکَ اِلَّا رِجَالًا نُّوۡحِیۡۤ  اِلَیۡہِمۡ مِّنۡ اَہۡلِ الۡقُرٰی ؕ اَفَلَمۡ یَسِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَیَنۡظُرُوۡا کَیۡفَ کَانَ عَاقِبَۃُ  الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ ؕ وَ لَدَارُ الۡاٰخِرَۃِ خَیۡرٌ لِّلَّذِیۡنَ اتَّقَوۡا ؕ اَفَلَا  تَعۡقِلُوۡنَ ﴿۱۱۰
“Dan Kami sama sekali tidak mengutus rasul sebelum engkau melainkan orang-orang lelaki yang kepadanya Kami mewahyukan  dari antara penduduk kota-kota itu. Apakah mereka tidak bepergian di muka bumi lalu  mereka dapat melihat bagaimana senantiasa  kesudahan buruk orang-orang yang sebelum mereka? Dan niscaya rumah di akhirat itu lebih baik bagi  orang-orang  yang bertakwa, apakah kamu tidak memikirkannya?”  (Yusuf [12]:110).
    Selanjutnya Allah Swt. berfirman  mengenai  rasa “putus asa” yang dirasakan oleh kedua belah pihak yang saling bertentang, firman-Nya:
حَتّٰۤی اِذَا اسۡتَیۡـَٔسَ الرُّسُلُ وَ ظَنُّوۡۤا اَنَّہُمۡ قَدۡ کُذِبُوۡا جَآءَہُمۡ نَصۡرُنَا ۙ فَنُجِّیَ مَنۡ  نَّشَآءُ ؕ وَلَا  یُرَدُّ بَاۡسُنَا عَنِ الۡقَوۡمِ  الۡمُجۡرِمِیۡنَ ﴿۱۱۰
Sehingga   apabila  rasul-rasul itu berputus asa mengenai orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu pun merasa yakin bahwa sesungguhnya mereka itu telah dibohongi rasul-rasul,  datanglah pertolongan Kami kepada mereka, lalu  Kami menyelamatkan siapa yang Kami kehendaki, dan  siksaan Kami tidak dapat dihindarkan  dari kaum yang berdosa. (Yusuf [12]:110
      Kata hatta (sehingga) kadang-kadang dipakai sebagai kata penghubung seperti wa yang berarti “dan” atau “bahkan” seperti dalam akaltus-samaka hatta ra’saha artinya “saya makan ikan dan (bahkan) kepalanya juga” (Lexicon Lane).
      Musuh-musuh para rasul  Allah terus bertambah dalam keburukan dan perlawanan terhadap mereka,  sehingga tercapailah suatu tingkatan  di mana para rasul Allah  mulai merasa bahwa mereka yang ditakdirkan untuk beriman telah beriman; dan tentang selebihnya para rasul Allah  tidak punya harapan lagi bahwa mereka akan beriman.
      Sebaliknya para penentang mereka disebabkan oleh lambatnya kedatangan azab Tuhan yang diperingatkan rasul Allah kepada mereka, merasa tidak akan ditimpa azab apa pun, dan bahwa nubuatan-nubuatan mengenai kemenangan terakhir dari rasul Allah dan kekalahan musuh-musuh para rasul Allah  itu bukan apa-apa, melainkan ucapan-ucapan palsu belaka. Itulah arti dari  ayat tersebut bahwa “kedua belah pihak telah putus asa”.

Takdir Kemenangan Para Rasul Allah
  
      Apa yang dialami dan dirasakan oleh Nabi Nuh a.s. merupakan salah satu ontoh mengenai keadaan “putus asa” tersebut (QS.71:1-29). Para nabi Allah tidak pernah putus asa tentang rahmat dan pertolongan Allah Swt.  (QS.15:57), bahkan mereka  sangat yakin bahwa pada akhirnya  mereka itulah yang akan unggul atas para penentangnya,  karena   hal itu  merupakan takdir yang telah ditetapkan Allah Swt.,  firman-Nya:
وَ قَدۡ مَکَرُوۡا مَکۡرَہُمۡ وَ عِنۡدَ اللّٰہِ مَکۡرُہُمۡ ؕ وَ اِنۡ کَانَ مَکۡرُہُمۡ لِتَزُوۡلَ مِنۡہُ  الۡجِبَالُ ﴿۴۷  فَلَا تَحۡسَبَنَّ اللّٰہَ مُخۡلِفَ وَعۡدِہٖ  رُسُلَہٗ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ  عَزِیۡزٌ  ذُو انۡتِقَامٍ ﴿ؕ۴۸
Dan  sungguh  mereka telah melakukan makar mereka, tetapi makar mereka ada di sisi Allah, dan  jika sekali pun  makar mereka dapat memindahkan gunung-gunung.   Maka janganlah engkau sama sekali menyangka  bahwa  Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya, sesungguhnya  Allah Maha Perkasa, Yang memiliki pembalasan. (Ibrahim [14]:47-48).
 Firman-Nya lagi:
اِنَّ  الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗۤ اُولٰٓئِکَ فِی  الۡاَذَلِّیۡنَ ﴿۲۱   کَتَبَ اللّٰہُ  لَاَغۡلِبَنَّ  اَنَا وَ  رُسُلِیۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  قَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿۲۲
 Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat hina.    Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku  pasti akan menang.”  Sesungguhnya Allah Maha Kuat, Maha Perkasa. (Al-Mujaadilah [58]:21-22).
     Ada tersurat nyata pada lembaran-lembaran sejarah bahwa kebenaran senantiasa menang terhadap kepalsuan.
      Surah Yusuf a.s. – yang sangat mengandung kabar gaib (nubuatan) mengenai apa yang akan  dialami dan dihadapi oleh Nabi Besar Muhammad saw. -- diakhiri dengan firman-Nya berikut ini:   
لَقَدۡ کَانَ فِیۡ قَصَصِہِمۡ عِبۡرَۃٌ  لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ؕ مَا کَانَ حَدِیۡثًا یُّفۡتَرٰی وَ لٰکِنۡ تَصۡدِیۡقَ الَّذِیۡ بَیۡنَ یَدَیۡہِ وَ تَفۡصِیۡلَ کُلِّ شَیۡءٍ وَّ ہُدًی وَّ رَحۡمَۃً لِّقَوۡمٍ  یُّؤۡمِنُوۡنَ ﴿۱۱۳﴾٪
Sungguh dalam kisah-kisah  mereka itu benar-benar ada pelajaran bagi orang-orang yang berakal.  Perkataan   ini, yakni Al-Quran sama sekali bukanlah sesuatu yang telah diada-adakan melainkan  menggenapi apa yang telah ada sebelumnya dan penjelasan terinci segala sesuatu, dan   petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman. (Yusuf [12]:112).

Hakikat Pemberian Gelar “Khaataman Nabiyyiin

     Sudah menjadi sikap terpuji Nabi Besar Muhammad saw.   bahwa sikap-sikap terpuji  para rasul Allah mana pun – mulai dari Nabi Adam a.s. sampai dengan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. -- yang Allah Swt. telah memerintahkan Nabi Besar Muhammad saw. untuk bersikap seperti mereka dalam menghadapi para penentangnya (QS.6:91), beliau saw. selalu memperagakannya jauh lebih sempurna dalam segala seginya, firman-Nya:
اُولٰٓئِکَ الَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ۚ فَاِنۡ یَّکۡفُرۡ بِہَا ہٰۤؤُلَآءِ  فَقَدۡ وَکَّلۡنَا بِہَا قَوۡمًا لَّیۡسُوۡا بِہَا بِکٰفِرِیۡنَ ﴿۹۰ اُولٰٓئِکَ الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ  فَبِہُدٰىہُمُ اقۡتَدِہۡ ؕ قُلۡ  لَّاۤ  اَسۡـَٔلُکُمۡ عَلَیۡہِ  اَجۡرًا ؕ اِنۡ  ہُوَ   اِلَّا  ذِکۡرٰی لِلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪۹۰
Mereka (nabi-nabi) itulah  orang-orang yang  Kami telah menganugerahkan  kepada mereka Kitab,    kekuasaan, dan kenabian. Tetapi jika mereka kafir terhadapnya maka sungguh  Kami telah menyerahkannya kepada satu kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. Mereka itulah   orang-orang yang Allah telah memberi petunjuk maka ikutilah petunjuk mereka.  Katakanlah: “Untuk tugas ini aku tidak meminta upah kepada kamu, ini tidak lain melainkan suatu nasihat untuk seluruh alam.” (Al-An’aam [6]:190-191).
Ayat 191   tidak berarti bahwa tiap-tiap nabi masing-masing diberi Kitab.  “Memberi Kitab” itu ungkapan yang dipergunakan dalam Al-Quran, pada umumnya dalam artian, memberi Kitab melalui seorang nabi pembawa syariat. Di tempat lain dalam Al-Quran (QS.45:17) dikatakan bahwa 3 hal, yaitu Kitab, kedaulatan dan kenabian diberikan kepada semua keturunan Bani Israil. Dalam QS.2:88-89 dan QS.5:45 kita baca bahwa satu rangkaian nabi datang sesudah Nabi Musa a.s. yang  tidak diberi syariat baru, melainkan mengikuti syariat yang diberikan dalam Taurat dan menjalankan hukum dengan syariat itu.  Kenyataan tersebut membuktikan bahwa tidak setiap nabi Allah atau rasul Allah  membawa Kitab suci atau syariat tersendiri, sebagaimana umumnya disalahfahami oleh umat Islam.
Sebenarnya nabi-nabi (rasul-rasul Allah) itu ada dua golongan: nabi-nabi pembawa syariat yang kepada mereka masing-masing diberikan sebuah Kitab (hukum atau syariat) dan nabi-nabi yang tidak diberi Kitab atau syariat, tetapi mengikuti syariat nabi pembawa syariat. Ihwal mereka kata-kata, “Kami beri mereka Kitab” berarti bahwa mereka diberi pengetahuan mengenai Kitab atau mereka mewarisi Kitab atau syariat nabi pembawa syariat yang mendahuluinya.
      Kata-kata “maka ikutilah petunjuk mereka”dapat dianggap tertuju kepada Nabi Besar Muhammad saw.  atau kepada tiap-tiap orang Islam, sebab dasar ajaran para nabi semuanya sama. Atau, kata-kata itu dapat diartikan bahwa wujud ruhani atau fitrat Nabi Besar Muhammad saw. adalah demikian rupa sehingga seakan-akan beliau diperintahkan supaya memadukan (menghimpun) di dalam diri beliau saw.segala sifat utama (akhlak fadhilah) yang terdapat pada pribadi nabi-nabi lainnya.
       Perintah yang dikemukakan dengan kata-kata, “ikutilah petunjuk mereka” itu disebut dalam istilah keruhanian Amr auni atau Amr khalqi yang berarti satu keinginan atau sifat yang terdapat pada suatu benda atau orang. Sebagai contoh mengenai perintah itu lihatlah QS.3:60 dan QS.21:70.  itulah sebabnya sehubungan dengan hal tersebut Nabi Besar Muhammad saw. mendapat gelar “Khaataman Nabiyyiin   dari Allah Swt.. yang oleh umumnya hanya diartikan  secara keliru sebagai nabi terakhir atau penutup nabi-nabi, firman-Nya:
الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ  رِسٰلٰتِ اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ  وَ لَا یَخۡشَوۡنَ  اَحَدًا  اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی  بِاللّٰہِ  حَسِیۡبًا ﴿۴۰
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara laki  kamu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai sekalian nabi,  dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzab [33]:40).
       Khaatam berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun. Khaatam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda.
       Kata itu pun berarti: hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir sama artinya (Lexicon Lane, Al-Mufradat Imam Raghib, Fath-ul-Bari, dan Zurqani). Maka kata khataman nabiyyiin akan berarti: meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi terakhir pembawa syariat.
      Penulis  akan mengakhiri  artikel dalam Blog ini dengan firman Allah Swt. di awal Surah Yusuf mengenai hubungan erat kisah Nabi Yusuf a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw., Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
نَحۡنُ نَقُصُّ عَلَیۡکَ اَحۡسَنَ الۡقَصَصِ بِمَاۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ ٭ۖ وَ اِنۡ   کُنۡتَ  مِنۡ  قَبۡلِہٖ  لَمِنَ  الۡغٰفِلِیۡنَ ﴿۴
Kami menceriterakan kepada engkau kisah yang paling baik dengan mewahyukan kepada engkau Al-Qur-an ini, dan walau pun sebelumnya engkau benar-benar termasuk orang yang tidak mengetahui. (Yusuf [12]:4).


 TAMAT

Rujukan:
The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid

Pajajaran Anyar, 27 Februari 2011
 

Pujian Khusus Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

 
HUBUNGAN  NABI YUSUF A.S. 
DENGAN
NABI BESAR MUHAMMAD SAW.
  
Bagian   XLXXII
 
Tentang

        Pujian Khusus Allah Swt. 
Kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
     
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
 
ذٰلِکَ  مِنۡ  اَنۡۢبَآءِ الۡغَیۡبِ نُوۡحِیۡہِ  اِلَیۡکَ ۚ وَ مَا کُنۡتَ لَدَیۡہِمۡ  اِذۡ  اَجۡمَعُوۡۤا  اَمۡرَہُمۡ  وَ ہُمۡ  یَمۡکُرُوۡنَ ﴿۱۰۳ وَ مَاۤ  اَکۡثَرُ النَّاسِ وَ لَوۡ حَرَصۡتَ بِمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿۱۰۴ وَ مَا تَسۡـَٔلُہُمۡ عَلَیۡہِ مِنۡ اَجۡرٍ ؕ اِنۡ ہُوَ اِلَّا ذِکۡرٌ  لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿۱۰۵﴾٪
Itulah dari kabar-kabar gaib yang telah Kami wahyukan kepada engkau, dan engkau tidak beserta mereka ketika mereka telah bersepakat mengenai urusan  mereka dan mereka akan melakukan makar. Dan kebanyakan manusia  sekali-kali tidak akan beriman, walaupun engkau sangat menginginkan.  Dan engkau  sekali-kali tidak minta ganjaran apa pun dari mereka,  itu tidak  lain melainkan   kehormatan untuk seluruh umat manusia. (Yusuf [12]:103-105).

Kembali kepada pokok pembahasan  firman Allah Swt. di awal Bab ini, bahwa jelaslah bahwa kisah Nabi Yusuf a.s. dalam Surah Yusuf   merupakan kabar gaib (nubuatan) yang akan terjadi  dalam kehidupan Nabi Besar Muhammad saw., setelah beliau saw.  diutus oleh Allah Swt. sebagai Rasul Allah untuk seluruh umat manusia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2; QS.34:29), walau pun beliau saw. berasal dari kalangan bangsa Arab.
     Ungkapan kalimat “Dan kebanyakan manusia sama sekali tidak akan beriman, walaupun engkau sangat menginginkan”, mengisyaratkan kepada kepedulian luar biasa Nabi Besar Muhammad  saw. terhadap  tanggungjawab beliau saw. dalam mengemban amanat sangat berat yang harus disampaikan kepada seluruh umat manusia  (QS.33:73-74; QS.7:143-144),   walau pun  Allah Swt. telah berfirman dalam QS.6:112-114 -- bahwa sekali pun berbagai dalil dan tanda-tanda nyata yang mendukung kebenaran pendakwaan beliau saw. sebagai rasul Allah dihadapkan kepada mereka, tetapi   mereka tetap tidak akan beriman.

Pujian Khusus Allah Swt. kepada Nabi Besar Muhammad Saw.

      Namun demikian Nabi Besar Muhammad saw.  tetap berusaha dengan segala daya-upaya yang mungkin untuk menyadarkan mereka dari syirik dan  kesesatan,  sehingga Allah Swt.   karena merasa kasihan kepada beliau saw. telah   memberi nasihat -- yang sekali gus merupakan pujian khusus -- yang bagi orang-orang yang tidak mengerti   telah dianggap sebagai   teguran keras Allah Swt. kepada beliau saw., padahal  bukan -- firman-Nya:
وَ اِنۡ کَانَ  کَبُرَ عَلَیۡکَ اِعۡرَاضُہُمۡ فَاِنِ اسۡتَطَعۡتَ اَنۡ تَبۡتَغِیَ نَفَقًا فِی الۡاَرۡضِ اَوۡ  سُلَّمًا فِی السَّمَآءِ  فَتَاۡتِیَہُمۡ  بِاٰیَۃٍ ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ  لَجَمَعَہُمۡ عَلَی الۡہُدٰی فَلَا تَکُوۡنَنَّ مِنَ  الۡجٰہِلِیۡنَ ﴿۳۶ اِنَّمَا یَسۡتَجِیۡبُ الَّذِیۡنَ یَسۡمَعُوۡنَ  ؕؔ وَ الۡمَوۡتٰی یَبۡعَثُہُمُ اللّٰہُ  ثُمَّ  اِلَیۡہِ یُرۡجَعُوۡنَ ﴿۷
Dan jika berpalingnya mereka terasa berat bagi engkau, maka kalau engkau sanggup mencari lubang ke dalam bumi atau tangga ke langit, lalu engkau mendatangkan kepada mereka suatu Tanda. Dan  jika Allah menghendaki niscaya mereka akan dihimpun-Nya kepada petunjuk, maka janganlah sekali-kali engkau menjadi orang-orang yang jahil. Sesungguhnya orang-orang yang menerima  kebenaran hanyalah orang-orang yang mendengar, sedangkan orang-orang mati  Allah akan membangkitkan mereka, kemudian kepada-Nya mereka akan dikembali-kan. (Al-An’aam [6]:36-37).
      Kata-kata  mencari lubang tembusan ke dalam bumi  berarti “menggunakan daya-upaya dunawi,” yakni  menablighkan dan menyebarkan kebenaran, sedangkan kata-kata tangga ke langit, maknanya “menggunakan daya-upaya ruhani,” yakni memanjatkan doa ke hadirat Allah Swt.  untuk memohon hidayah (petunjuk) bagi orang-orang kafir dan sebagainya. Shalat sungguh merupakan tangga yang dengan itu orang  secara ruhani  dapat naik ke langit.  Nabi Besar Muhammad saw.  diberi tahu supaya menggunakan kedua upaya ini.
       Kata jahil seperti dalam QS.2:274 artinya  “seseorang yang tidak tahu-menahu” atau “tidak mengenal.”  Nabi Besar Muhammad saw. dianjurkan agar jangan sampai tidak mengenal hukum Tuhan dalam perkara ini. Ayat itu pun menyingkapkan keprihatinan dan perhatian besar beliau saw.  untuk kesejahteraan ruhani kaum beliau. Beliau saw. bersedia untuk sedapat mungkin membawakan kepada mereka Tanda, sekalipun beliau harus “mencari lubang tembusan ke dalam bumi atau tangga ke langit.” Yang pasti beliau saw., na'udzubillaahi min dzaalik -- bukan seorang yang "jahil" walau pun Allah Swt. telah menggunakan kata tersebut.
     “Pujian khusus”  seperti itu  yang menggambarkan kepedulian luar biasa Nabi Besar Muhammad saw. --  yang  tidak mudah dimengerti oleh kebanyakan orang-orang yang tidak mengenal hikmah-hikmah ayat-ayat Al-Quran  --  banyak terdapat dalam Al-Quran, berikut contoh lainnya lagi:
لَعَلَّکَ بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ اَلَّا یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿۴   اِنۡ نَّشَاۡ نُنَزِّلۡ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ السَّمَآءِ  اٰیَۃً فَظَلَّتۡ اَعۡنَاقُہُمۡ  لَہَا خٰضِعِیۡنَ ﴿۵   وَ مَا یَاۡتِیۡہِمۡ مِّنۡ ذِکۡرٍ مِّنَ الرَّحۡمٰنِ مُحۡدَثٍ  اِلَّا  کَانُوۡا عَنۡہُ  مُعۡرِضِیۡنَ  ﴿۶  فَقَدۡ کَذَّبُوۡا  فَسَیَاۡتِیۡہِمۡ  اَنۡۢبٰٓؤُا مَا کَانُوۡا  بِہٖ  یَسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿۷
Boleh jadi engkau akan membinasakan diri sendiri  karena mereka tidak mau beriman. Jika Kami menghendaki, Kami dapat menurunkan kepada mereka suatu Tanda dari langit  sehingga leher-leher mereka akan tertunduk kepadanya.    Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka peringatan yang baru  dari Tuhan Yang Maha Pemurah melainkan mereka selalu berpaling darinya.   Maka  sungguh  mereka  telah mendustakan, tetapi segera datang kepada mereka kabar-kabar mengenai apa yang  mereka perolok-olokkan. (Al-Syu’araa [26]:4-7).
       Kesedihan Nabi Besar Muhammad saw. tidak akan sia-sia. Jika kaumnya tidak berhenti menentang beliau saw., mereka akan didatangi oleh Tanda hukuman (Tanda azab) yang akan merendahkan dan menghinakan pemimpin-pemimpin mereka, ‘anaq berarti pemimpin-pemimpin (Lexicon Lane). Itulah makna kalimat “Kami dapat menurunkan kepada mereka suatu Tanda dari langit  sehingga leher-leher mereka akan tertunduk kepadanya. “   
       Kalimat   “peringatan yang baru” berarti “dalam bentuk yang baru”, atau “dengan  rincian yang baru”. Pada hakikatnya semua syariat serupa dalam ajaran-ajaran dasar dan pokoknya, hanya dalam perkara yang kecil-kecil saja ada perbedaan. Atau suatu syariat diwahyukan dalam bentuk yang telah diubah dan diperbaiki (disempurnakan) agar supaya bisa cocok dengan cita-cita, kepentingan-kepentingan dan keperluan-keperluan masa tertentu ketika syariat itu diturunkan. Beberapa rasul Allah  datang dengan suatu syariat yang baru, sedang yang lainnya hanya mengkhidmati syariat yang sudah ada.

Al-Quran Puncak Penyempurnaan Hukum-hukum Syariat

       Puncak dari proses penyempurnaan hukum-hukum syariat tersebut adalah Al-Quran   yang diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad saw. , firman-Nya:  
مَا نَنۡسَخۡ مِنۡ اٰیَۃٍ اَوۡ نُنۡسِہَا نَاۡتِ بِخَیۡرٍ مِّنۡہَاۤ  اَوۡ مِثۡلِہَا ؕ اَلَمۡ تَعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿۲۰۷
Ayat mana pun yang Kami mansukhkan . yakni batalkan atau Kami biarkan terlupa, maka Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang semisalnya. Apakah kamu tidak  mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala se-suatu? (Al-Baqarah [107).
      Ayah berarti: pesan, tanda, perintah atau ayat Al-Quran (Lexicon Lane).  Ada kekeliruan dalam mengambil kesimpulan dari ayat ini bahwa beberapa ayat Al-Quran telah dimansukhkan (dibatalkan). Kesimpulan itu jelas salah dan tidak beralasan. Tidak ada sesuatu dalam ayat ini yang menunjukkan bahwa kata āyah itu maksudnya ayat-ayat Al-Quran,  melainkan  hukum-hukum syariat yang telah diwahyukan sebelum Al-Quran, termasuk Taurat dan Injil.
       Dalam ayat sebelum dan sesudahnya telah disinggung mengenai Ahlul Kitab dan kedengkian  mereka terhadap wahyu baru  (Al-Quran), yang menunjukkan bahwa āyah yang disebut dalam ayat ini sebagai mansukh (batal)  menunjuk kepada wahyu-wahyu terdahulu. Dijelaskan bahwa Kitab Suci terdahulu mengandung dua macam perintah:   
      (a) yang menghendaki penghapusan karena keadaan sudah berubah dan karena keuniversilan wahyu baru itu  menghendaki pembatalan;
       (b) yang mengandung kebenaran kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat diingatkan kembali akan kebenaran yang terlupakan, karena itu perlu sekali menghapuskan bagian-bagian tertentu Kitab-kitab Suci itu dan mengganti dengan perintah-perintah baru dan pula menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah hilang, maka Allah Swt.  menghapuskan beberapa bagian wahyu-wahyu (hukum-hukum syariat) terdahulu, menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan di samping itu memasukkan lagi bagian-bagian yang hilang dengan yang sama. Itulah arti yang sesuai dan cocok dengan konteks (letak) ayat ini dan dengan jiwa umum ajaran Al-Quran.
       Al-Quran telah    membatalkan semua Kitab Suci sebelumnya, sebab — mengingat keadaan umat manusia telah berubah — Al-Quran membawa syariat baru yang bukan saja lebih baik daripada semua syariat lama, tetapi ditujukan pula kepada seluruh umat manusia dari semua zaman. Ajaran yang lebih rendah dengan lingkup tugas yang terbatas harus memberikan tempatnya kepada ajaran yang lebih baik dan lebih tinggi dengan lingkup tugas universal.
       Dalam ayat ini kata nansakh (Kami membatalkan) bertalian dengan kata bi-khairin (yang lebih baik), dan kata nunsiha (Kami biarkan terlupakan) bertalian dengan kata bi-mitslihā (yang semisalnya), maksudnya bahwa jika Allah Swt.  menghapuskan sesuatu maka Dia menggantikannya dengan yang lebih baik, dan bila untuk sementara waktu Dia membiarkan sesuatu dilupakan orang, Dia menghidupkannya kembali pada waktu yang lain. Diakui oleh ulama-ulama Yahudi sendiri bahwa sesudah bangsa Yahudi diangkut sebagai tawanan ke Babil oleh Nebukadnezar, seluruh Taurat (lima Kitab Nabi Musa a.s.) telah hilang (Encyclopaedia  Biblica).

Keprihatinan atas  Akibat Buruk “Penyembahan Manusia”

      Berikut contoh lainnya keprihatinan Nabi Besar Muhammad saw. kepada kalangan Bani Israil, terutama mereka yang telah terjerumus ke dalam  syirik berupa mempertuhankan manusia --  yakni  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.,  sebagaimana ajaran Paulus dalam surat-surat kirimannya  (QS.9:30-33) – firman-Nya:
 اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ الَّذِیۡۤ  اَنۡزَلَ عَلٰی عَبۡدِہِ الۡکِتٰبَ  وَ لَمۡ  یَجۡعَلۡ  لَّہٗ عِوَجًا ؕ﴿ٜ۲ قَیِّمًا  لِّیُنۡذِرَ بَاۡسًا شَدِیۡدًا مِّنۡ لَّدُنۡہُ وَ یُبَشِّرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ الَّذِیۡنَ یَعۡمَلُوۡنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ  لَہُمۡ  اَجۡرًا حَسَنًا ۙ﴿۳   مَّاکِثِیۡنَ فِیۡہِ اَبَدًا ۙ﴿۴  وَّ یُنۡذِرَ الَّذِیۡنَ قَالُوا اتَّخَذَ اللّٰہُ وَلَدًا ٭﴿۵  مَا لَہُمۡ بِہٖ مِنۡ عِلۡمٍ وَّ لَا لِاٰبَآئِہِمۡ ؕ کَبُرَتۡ کَلِمَۃً  تَخۡرُجُ مِنۡ اَفۡوَاہِہِمۡ ؕ اِنۡ یَّقُوۡلُوۡنَ  اِلَّا کَذِبًا ﴿۶  فَلَعَلَّکَ بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ عَلٰۤی اٰثَارِہِمۡ  اِنۡ لَّمۡ  یُؤۡمِنُوۡا بِہٰذَا  الۡحَدِیۡثِ  اَسَفًا ﴿۷
Segala puji bagi Allah  Yang  telah menurunkan kepada hamba-Nya Kitab Al-Quran ini dan   Dia  tidak menjadikan padanya ke­bengkokan.   Sebagai penjaga,      untuk memberi peringatan mengenai  siksaan yang dahsyat dari hadirat-Nya, dan memberikan kabar gembira  kepada orang-orang  beriman  yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka ada ganjaran yang baik,  mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan supaya memperingat­kan orang-orang yang berkata: "Allah  mengambil seorang  anak laki-laki.   Mereka   sekali-kali tidak memiliki pengetahuan mengenainya, dan tidak pula bapak-bapak mereka memilikinya.  Sangat besar keburukan perkataan yang keluar dari mulut mereka,   mereka tidak mengucapkan kecuali kedustaan.     Maka sangat mungkin engkau akan  membinasakan diri engkau    karena sangat sedih  sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini. (Al-Kahf [18]:2-7).
      Pendek kata, itulah beberapa contoh keprihatinan dan kepedulian besar Nabi Besar Muhammad saw. terhadap umat manusia jika mereka mendustakan beliau saw. dan Al-Quran,  yang merupakan agama dan Kitab suci terakhir dan tersempurna (QS.5:4), sebab  mereka pasti akan menanggung akibat-akibat yang sangat mengerikan, di antaranya mereka akan ditimpa oleh berbagai azab Ilahi yang dijanjikan Allah Swt.  kepada mereka, firman-Nya:
ذٰلِکَ  مِنۡ  اَنۡۢبَآءِ الۡغَیۡبِ نُوۡحِیۡہِ  اِلَیۡکَ ۚ وَ مَا کُنۡتَ لَدَیۡہِمۡ  اِذۡ  اَجۡمَعُوۡۤا  اَمۡرَہُمۡ  وَ ہُمۡ  یَمۡکُرُوۡنَ ﴿۱۰۳ وَ مَاۤ  اَکۡثَرُ النَّاسِ وَ لَوۡ حَرَصۡتَ بِمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿۱۰۴ وَ مَا تَسۡـَٔلُہُمۡ عَلَیۡہِ مِنۡ اَجۡرٍ ؕ اِنۡ ہُوَ اِلَّا ذِکۡرٌ  لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿۱۰۵﴾٪
Itulah dari kabar-kabar gaib yang telah Kami wahyukan kepada engkau, dan engkau tidak beserta mereka ketika mereka telah bersepakat mengenai urusan  mereka dan mereka akan melakukan makar.   Dan kebanyakan manusia  sekali-kali tidak akan beriman, walaupun engkau sangat menginginkan.  Dan engkau sekali-kali  tidak minta ganjaran apa pun dari mereka,  itu tidak  lain melainkan   kehormatan untuk seluruh umat manusia. (Yusuf [12]:103-105).

Tidak  Boleh Ada Paksaan  dan Kekerasan Dalam Masalah Agama

       Jadi,  seluruh sikap terpuji yang diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. tersebut menjungkir-balikkan sikap  keliru  segolongan umat Islam yang melakukan berbagai tindakan kekerasan secara fisik dengan  atas namakan  agama Islam, dengan dalih  untuk menjaga kehormatan agama Islam dan Nabi Besar Muhammad saw., padahal Nabi Besar Muhammad saw. tidak pernah mencontohkan berbagai bentuk kebrutalan atas nama agama seperti  yang dilakukan oleh "orang-orang yang jahil" mengenai ajaran Islam (Al-Quran) yang hakiki, sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Nabi Besar Muhammad saw..
      Dengan tegas Allah Swt. berfirman bahwa tidak perlu ada paksaan dalam masalah agama Islam, karena untuk untuk tersebarnya agama Islam (Al-Quran)   di masa awal Nabi Besar Muhammad saw. tidak pernah melakukannya dengan  tindakan-tindakan faksa secara fisik, terutama sekali selama 13 tahun di Makkah, demikian pula selama 10 tahun di Madinah pun peperangan yang dilakukan  beliau saw. oleh umat Islam dilakukan hanya semata-mata untuk  membela diri  agar  agama Islam (Al-Quran)   dan umat Islam tidak musnah dari muka bumi (QS.22:40-41), peperangan tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyebaran agama Islam, firman-Nya:
لَاۤ اِکۡرَاہَ فِی الدِّیۡنِ ۟ۙ قَدۡ تَّبَیَّنَ الرُّشۡدُ مِنَ الۡغَیِّ ۚ فَمَنۡ یَّکۡفُرۡ بِالطَّاغُوۡتِ وَ یُؤۡمِنۡۢ بِاللّٰہِ فَقَدِ اسۡتَمۡسَکَ بِالۡعُرۡوَۃِ الۡوُثۡقٰی ٭ لَا انۡفِصَامَ  لَہَا ؕ وَ اللّٰہُ سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿۲۵۷
Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh  jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan, karena itu barangsiapa kafir kepada thaghut   dan beriman kepada Allah, maka sungguh  ia  telah berpegang kepada suatu pegangan yang sangat kuat lagi tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:257).
       Perintah dalam ayat sebelumnya (QS.2:255-256) untuk melakukan pengorbanan khusus guna kepentingan agama dan memerangi musuh Islam boleh jadi dapat menimbulkan salah pengertian, seakan-akan Allah Swt. menghendaki kaum Muslimin menggunakan kekerasan guna menablighkan agama mereka.
       Ayat QS.2:257 ini melenyapkan salah paham itu dan bukan saja --  dengan kata-kata yang sangat tegas -- melarang kaum Muslimin, mempergunakan kekerasan dalam rangka menarik orang-orang bukan-Muslim masuk Islam, tetapi memberikan pula alasan-alasan mengapa kekerasan tidak boleh dipakai untuk tujuan tersebut. Alasan itu ialah karena kebenaran itu nyata berbeda dari kesesatan maka tidak ada alasan untuk membenarkan penggunaan kekerasan, karena  Islam adalah  kebenaran yang nyata.
      Thaghut adalah: orang-orang yang bertindak melampaui batas-batas kewajaran; iblis; orang-orang yang menyesatkan orang lain dari jalan lurus dan benar; segala bentuk berhala. Kata itu dipakai dalam arti mufrad dan jamak (QS.2:258 dan QS.4:61).

(Bersambung)
Rujukan:
The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid