بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
HUBUNGAN NABI YUSUF A.S.
DENGAN
NABI BESAR MUHAMMAD SAW.
Bagian XLXXIII (Tamat)
Tentang
Mereka yang Buta "Mata Ruhaninya" &
Makna Hakiki Gelar "Khaataman Nabiyyiin"
Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ
اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ
اَعۡمٰی وَ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿۷۳﴾
Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat pun ia akan buta juga dan bahkan
lebih tersesat dari jalan. (Bani Israil [17]:73).
Dalam Bab
sebelumnya telah dikemukakan mengenai keprihatinan besar yang
diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad
saw. -- sehingga Allah Swt. telah menasihati dan juga memuji beliau
saw. dengan pujian yang bernada
“teguran” -- dan tentang tidak
perlunya melakukan berbagai bentuk paksaan
dan kekerasan secara fisik dalam masalah agama, terutama agama Islam,
firman-Nya:
لَعَلَّکَ
بَاخِعٌ نَّفۡسَکَ اَلَّا یَکُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿۴﴾ اِنۡ نَّشَاۡ نُنَزِّلۡ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ السَّمَآءِ اٰیَۃً
فَظَلَّتۡ اَعۡنَاقُہُمۡ لَہَا خٰضِعِیۡنَ
﴿۵﴾ وَ مَا یَاۡتِیۡہِمۡ
مِّنۡ ذِکۡرٍ مِّنَ الرَّحۡمٰنِ مُحۡدَثٍ
اِلَّا کَانُوۡا عَنۡہُ مُعۡرِضِیۡنَ ﴿۶﴾ فَقَدۡ کَذَّبُوۡا
فَسَیَاۡتِیۡہِمۡ اَنۡۢبٰٓؤُا مَا
کَانُوۡا بِہٖ یَسۡتَہۡزِءُوۡنَ ﴿۷﴾
Boleh jadi engkau akan membinasakan diri sendiri karena mereka tidak mau beriman. Jika
Kami menghendaki, Kami dapat menurunkan kepada mereka suatu Tanda dari
langit sehingga leher-leher mereka
akan tertunduk kepadanya. Dan sekali-kali tidak datang kepada
mereka peringatan yang baru dari Tuhan Yang Maha Pemurah
melainkan mereka selalu berpaling darinya. Maka
sungguh mereka telah mendustakan, tetapi segera
datang kepada mereka kabar-kabar mengenai apa yang mereka perolok-olokkan. (Al-Syu’araa
[26]:4-7).
Orang-orang yang “Mata
Ruhaninya” Buta
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai
orang-orang yang “buta mata ruhaninya” tersebut:
وَ
کَاَیِّنۡ مِّنۡ اٰیَۃٍ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ یَمُرُّوۡنَ عَلَیۡہَا وَ ہُمۡ عَنۡہَا مُعۡرِضُوۡنَ ﴿۱۰۶﴾ وَ مَا یُؤۡمِنُ اَکۡثَرُہُمۡ بِاللّٰہِ اِلَّا وَ ہُمۡ مُّشۡرِکُوۡنَ ﴿۱۰۷﴾
Dan betapa banyak Tanda-tanda di seluruh langit dan bumi
yang mereka melaluinya tetapi mereka itu berpaling darinya. Dan kebanyakan dari mereka sama sekali
tidak beriman kepada Allah,
melainkan pada waktu yang sama mereka itu mempersekutukan Dia.
(Yusuf
[12]:106-107).
Ayat ini menunjuk kepada perbedaan yang
bersifat pokok antara sikap orang beriman dan orang kafir. Di
mana orang beriman berjalan dengan mata terbuka dan siap-siaga
untuk menangkap isyarat sekecil-kecilnya pun dari Allah Swt. –
sehingga Allah Swt. menyebut mereka “orang-orang yang berakal” (QS.3:191-195)
-- sedangkan orang yang tak beriman
bertingkah laku seperti orang buta, yang tidak mau mengambil faedah dari
tanda-tanda jelas dan nyata sekali pun.
Mengisyaratkan kepada orang-orang yang “mata
ruhaninya buta” seperti itulah firman Allah Swt. berikut ini:
وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ
اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ
اَعۡمٰی وَ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿۷۳﴾
Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di
akhirat pun ia akan buta juga dan bahkan lebih tersesat dari jalan. (Bani
Israil [17]:73).
Mereka
yang tidak mempergunakan mata ruhani mereka dengan cara yang wajar di
dunia ini akan tetap luput dari penglihatan
ruhani di dalam akhirat. Al-Quran menyebut mereka yang tidak
merenungkan Tanda-tanda Allah serta tidak memperoleh manfaat darinya. Orang-orang seperti itu di alam akhirat pun
akan tetap dalam keadaan buta. Firman-Nya lagi:
وَ
مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ
الۡقِیٰمَۃِ اَعۡمٰی ﴿۱۲۵﴾ قَالَ رَبِّ لِمَ
حَشَرۡتَنِیۡۤ اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ بَصِیۡرًا ﴿۱۲۶﴾ قَالَ کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا ۚ وَکَذٰلِکَ
الۡیَوۡمَ تُنۡسٰی ﴿۱۲۷﴾ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ الۡاٰخِرَۃِ
اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی ﴿۱۲۸﴾
"Dan barangsiapa berpaling dari
mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit,
dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.
Ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa
Engkau membangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal sesungguhnya
dahulu aku dapat melihat?” Dia berfirman: "Demikianlah telah datang
kepadamu Tanda-tanda Kami, tetapi engkau melupakannya, dan demikian pula engkau dilupakan pada
hari ini." Dan demikianlah Kami memberi balasan orang
yang melanggar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Tuhan-nya,
dan niscaya azab akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. (Thaa
Haa [20]:125-128).
Makna
“Mata Ruhani” yang Buta
Seseorang yang sama sekali tidak ingat
kepada Allah Swt. di dunia serta menjalani cara hidup yang
menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya, dan dengan demikian
membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt. dan akan dilahirkan dalam keadaan buta
di waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat. Hal itu
menjadi demikian karena ruhnya di
dunia ini - yang akan berperan sebagai badan bagi ruh yang lebih
maju ruhaninya di alam akhirat - telah menjadi buta, sebab ia
telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini.
Sebagai jawaban terhadap keluhan orang kafir
mengapa ia dibangkitkan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya ia memiliki penglihatan,
Allah Swt akan mengatakan bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya di dunia sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena
itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh
lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka di
hari kemudian ia dilahirkan buta.
Ayat ini dapat pula berarti bahwa karena orang
kafir tidak mengembangkan dalam dirinya Sifat-sifat Ilahi dan tetap
asing dari Sifat-sifat itu, maka
pada hari kebangkitan — ketika Sifat-sifat Ilahi itu akan dinampakkan dengan segala keagungan dan kemuliaan — ia
sebagai seseorang yang asing dari Sifat-sifat
itu tidak akan mampu mengenalinya
dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai
ingatan atau kenangan sedikit pun kepada Sifat-sifat Ilahi
itu.
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman mengenai “kebutaan mata ruhani” mereka, sehingga
mereka benar-benar tidak dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah
kaum purbakala yang telah dibinasakan Allah Swt. akibat mendustakan
dan menentang para Rasul Allah yang diutus di kalangan mereka:
اَفَلَمۡ یَہۡدِ لَہُمۡ کَمۡ اَہۡلَکۡنَا قَبۡلَہُمۡ مِّنَ الۡقُرُوۡنِ
یَمۡشُوۡنَ فِیۡ مَسٰکِنِہِمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیٰتٍ
لِّاُولِی النُّہٰی ﴿۱۲۹﴾٪
Maka
apakah tidak memberi petunjuk kepada
mereka berapa banyak generasi yang telah
Kami binasakan sebelum mereka, mereka berjalan-jalan di tempat-tempat
tinggal mereka yang telah hancur? Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu benar-benar
ada Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Thaa Haa
[20]:129).
Makna
“Putus Asa” Rasul Allah dan Para Penentangnya
Kembali kepada kepada Surah Yusuf,
sehubungan dengan hal tersebut selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اَفَاَمِنُوۡۤا اَنۡ تَاۡتِیَہُمۡ غَاشِیَۃٌ مِّنۡ عَذَابِ اللّٰہِ اَوۡ تَاۡتِیَہُمُ السَّاعَۃُ بَغۡتَۃً وَّ ہُمۡ لَا یَشۡعُرُوۡنَ ﴿۱۰۸﴾
قُلۡ ہٰذِہٖ سَبِیۡلِیۡۤ اَدۡعُوۡۤا اِلَی اللّٰہِ ۟ؔ عَلٰی بَصِیۡرَۃٍ اَنَا وَ مَنِ اتَّبَعَنِیۡ ؕ وَ سُبۡحٰنَ اللّٰہِ وَ مَاۤ اَنَا مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿۱۰۹﴾
Apakah mereka merasa aman terhadap kedatangan azab dari Allah yang sangat dahsyat kepada mereka, atau Saat yang dijanjikan itu
datang dengan tiba-tiba kepada mereka dan mereka tidak menyadari? Katakanlah,
hai Rasulullah: ”Inilah
jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku memanggil kepada
Allah berdasarkan dalil yang
nyata. Dan Maha Suci Allah, dan aku sekali-kali
bukan dari golongan orang-orang musyrik. (Yusuf [12]:108-109).
Kepercayaan buta dan tanpa dipikir, dan
yang tidak didasarkan atas alasan-alasan sehat serta keyakinan yang kuat, tidak
ada harganya dalam pandangan Allah Swt., itulah makna kalimat ‘alaa bashiiratin. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ
مَاۤ اَرۡسَلۡنَا مِنۡ قَبۡلِکَ اِلَّا رِجَالًا نُّوۡحِیۡۤ اِلَیۡہِمۡ مِّنۡ اَہۡلِ الۡقُرٰی ؕ اَفَلَمۡ یَسِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَیَنۡظُرُوۡا کَیۡفَ کَانَ عَاقِبَۃُ الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ ؕ وَ لَدَارُ الۡاٰخِرَۃِ خَیۡرٌ لِّلَّذِیۡنَ اتَّقَوۡا ؕ اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ ﴿۱۱۰﴾
“Dan Kami sama sekali tidak mengutus rasul sebelum
engkau melainkan orang-orang lelaki yang kepadanya Kami
mewahyukan dari antara penduduk
kota-kota itu. Apakah mereka tidak bepergian di muka bumi lalu mereka dapat melihat bagaimana
senantiasa kesudahan buruk
orang-orang yang sebelum mereka? Dan niscaya rumah di akhirat itu lebih
baik bagi orang-orang yang bertakwa, apakah kamu tidak
memikirkannya?” (Yusuf
[12]:110).
Selanjutnya Allah Swt.
berfirman mengenai rasa “putus asa” yang dirasakan oleh kedua
belah pihak yang saling bertentang, firman-Nya:
حَتّٰۤی اِذَا اسۡتَیۡـَٔسَ الرُّسُلُ وَ
ظَنُّوۡۤا اَنَّہُمۡ قَدۡ کُذِبُوۡا جَآءَہُمۡ نَصۡرُنَا ۙ فَنُجِّیَ مَنۡ نَّشَآءُ ؕ وَلَا یُرَدُّ بَاۡسُنَا عَنِ الۡقَوۡمِ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ﴿۱۱۰﴾
Sehingga apabila rasul-rasul itu berputus asa mengenai
orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu pun merasa yakin
bahwa sesungguhnya mereka itu telah dibohongi rasul-rasul, datanglah pertolongan Kami kepada
mereka, lalu Kami
menyelamatkan siapa yang Kami kehendaki, dan
siksaan Kami tidak dapat dihindarkan dari kaum yang berdosa. (Yusuf
[12]:110
Kata hatta
(sehingga) kadang-kadang dipakai sebagai kata penghubung seperti wa yang
berarti “dan” atau “bahkan” seperti dalam akaltus-samaka hatta ra’saha
artinya “saya makan ikan dan (bahkan) kepalanya juga” (Lexicon Lane).
Musuh-musuh para rasul Allah terus bertambah dalam keburukan
dan perlawanan terhadap mereka, sehingga tercapailah suatu tingkatan di mana para rasul Allah mulai merasa bahwa mereka yang ditakdirkan
untuk beriman telah beriman; dan tentang selebihnya para rasul Allah tidak punya harapan lagi bahwa mereka
akan beriman.
Sebaliknya
para penentang mereka disebabkan oleh lambatnya kedatangan azab Tuhan
yang diperingatkan rasul Allah kepada mereka, merasa tidak akan
ditimpa azab apa pun, dan bahwa nubuatan-nubuatan mengenai kemenangan
terakhir dari rasul Allah dan kekalahan musuh-musuh para rasul Allah
itu bukan apa-apa, melainkan ucapan-ucapan
palsu belaka. Itulah arti dari ayat
tersebut bahwa “kedua belah pihak telah putus asa”.
Takdir Kemenangan Para Rasul Allah
Apa
yang dialami dan dirasakan oleh Nabi Nuh a.s. merupakan salah satu ontoh
mengenai keadaan “putus asa” tersebut (QS.71:1-29). Para nabi Allah tidak
pernah putus asa tentang rahmat dan pertolongan Allah Swt.
(QS.15:57), bahkan
mereka sangat yakin bahwa pada
akhirnya mereka itulah yang akan unggul
atas para penentangnya, karena hal itu
merupakan takdir yang telah ditetapkan Allah Swt., firman-Nya:
وَ
قَدۡ مَکَرُوۡا مَکۡرَہُمۡ وَ عِنۡدَ اللّٰہِ مَکۡرُہُمۡ ؕ وَ اِنۡ کَانَ مَکۡرُہُمۡ
لِتَزُوۡلَ مِنۡہُ الۡجِبَالُ ﴿۴۷﴾ فَلَا تَحۡسَبَنَّ
اللّٰہَ مُخۡلِفَ وَعۡدِہٖ رُسُلَہٗ ؕ
اِنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ
ذُو انۡتِقَامٍ ﴿ؕ۴۸﴾
Dan sungguh mereka telah melakukan makar mereka,
tetapi makar mereka ada di sisi Allah, dan jika sekali pun makar mereka dapat memindahkan
gunung-gunung. Maka janganlah engkau sama sekali menyangka bahwa Allah akan menyalahi janji-Nya
kepada rasul-rasul-Nya, sesungguhnya
Allah Maha Perkasa, Yang memiliki pembalasan. (Ibrahim
[14]:47-48).
Firman-Nya lagi:
اِنَّ الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗۤ
اُولٰٓئِکَ فِی الۡاَذَلِّیۡنَ ﴿۲۱﴾ کَتَبَ اللّٰہُ لَاَغۡلِبَنَّ
اَنَا وَ رُسُلِیۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ قَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿۲۲﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat
hina. Allah telah menetapkan:
“Aku dan rasul-rasul-Ku pasti
akan menang.” Sesungguhnya Allah Maha Kuat, Maha
Perkasa. (Al-Mujaadilah [58]:21-22).
Ada tersurat nyata pada lembaran-lembaran sejarah bahwa kebenaran
senantiasa menang terhadap kepalsuan.
Surah Yusuf a.s. – yang
sangat mengandung kabar gaib (nubuatan) mengenai apa yang akan dialami dan dihadapi oleh Nabi
Besar Muhammad saw. -- diakhiri dengan firman-Nya berikut ini:
لَقَدۡ
کَانَ فِیۡ قَصَصِہِمۡ عِبۡرَۃٌ لِّاُولِی الۡاَلۡبَابِ ؕ مَا کَانَ حَدِیۡثًا یُّفۡتَرٰی وَ لٰکِنۡ تَصۡدِیۡقَ الَّذِیۡ بَیۡنَ یَدَیۡہِ وَ تَفۡصِیۡلَ کُلِّ شَیۡءٍ وَّ ہُدًی وَّ رَحۡمَۃً لِّقَوۡمٍ یُّؤۡمِنُوۡنَ ﴿۱۱۳﴾٪
Sungguh
dalam kisah-kisah mereka itu
benar-benar ada pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Perkataan ini, yakni Al-Quran sama sekali
bukanlah sesuatu yang telah diada-adakan melainkan menggenapi apa yang telah ada sebelumnya
dan penjelasan terinci segala sesuatu, dan petunjuk serta rahmat bagi
kaum yang beriman. (Yusuf [12]:112).
Hakikat
Pemberian Gelar “Khaataman Nabiyyiin”
Sudah menjadi sikap terpuji Nabi
Besar Muhammad saw. bahwa sikap-sikap
terpuji para rasul Allah mana
pun – mulai dari Nabi Adam a.s. sampai dengan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. -- yang
Allah Swt. telah memerintahkan Nabi Besar Muhammad saw. untuk bersikap seperti
mereka dalam menghadapi para penentangnya (QS.6:91), beliau saw. selalu memperagakannya
jauh lebih sempurna dalam segala seginya, firman-Nya:
اُولٰٓئِکَ
الَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ۚ فَاِنۡ یَّکۡفُرۡ
بِہَا ہٰۤؤُلَآءِ فَقَدۡ وَکَّلۡنَا
بِہَا قَوۡمًا لَّیۡسُوۡا بِہَا بِکٰفِرِیۡنَ ﴿۹۰﴾ اُولٰٓئِکَ الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ فَبِہُدٰىہُمُ اقۡتَدِہۡ ؕ قُلۡ لَّاۤ
اَسۡـَٔلُکُمۡ عَلَیۡہِ اَجۡرًا ؕ
اِنۡ ہُوَ اِلَّا
ذِکۡرٰی لِلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪۹۰﴾
Mereka (nabi-nabi) itulah orang-orang yang Kami telah menganugerahkan kepada mereka Kitab, kekuasaan, dan kenabian.
Tetapi jika mereka kafir terhadapnya maka sungguh Kami telah menyerahkannya kepada satu kaum
yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah memberi
petunjuk maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Untuk tugas ini aku
tidak meminta upah kepada kamu, ini tidak lain melainkan suatu nasihat
untuk seluruh alam.” (Al-An’aam [6]:190-191).
Ayat 191
tidak berarti bahwa tiap-tiap nabi masing-masing diberi Kitab.
“Memberi Kitab” itu ungkapan yang
dipergunakan dalam Al-Quran, pada umumnya dalam artian, memberi Kitab
melalui seorang nabi pembawa syariat. Di tempat lain dalam Al-Quran
(QS.45:17) dikatakan bahwa 3 hal, yaitu Kitab, kedaulatan dan kenabian
diberikan kepada semua keturunan Bani Israil. Dalam QS.2:88-89 dan QS.5:45
kita baca bahwa satu rangkaian nabi datang sesudah Nabi Musa a.s. yang tidak diberi syariat baru,
melainkan mengikuti syariat yang diberikan dalam Taurat dan
menjalankan hukum dengan syariat itu.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa tidak setiap nabi Allah atau rasul
Allah membawa Kitab suci atau syariat
tersendiri, sebagaimana umumnya disalahfahami oleh umat Islam.
Sebenarnya nabi-nabi (rasul-rasul Allah)
itu ada dua golongan: nabi-nabi pembawa syariat yang kepada mereka
masing-masing diberikan sebuah Kitab (hukum atau syariat) dan nabi-nabi
yang tidak diberi Kitab atau syariat, tetapi mengikuti syariat nabi
pembawa syariat. Ihwal mereka kata-kata, “Kami beri mereka Kitab”
berarti bahwa mereka diberi pengetahuan mengenai Kitab atau mereka mewarisi
Kitab atau syariat nabi pembawa syariat yang mendahuluinya.
Kata-kata “maka ikutilah petunjuk
mereka”dapat dianggap tertuju kepada Nabi Besar Muhammad saw. atau kepada tiap-tiap orang Islam, sebab
dasar ajaran para nabi semuanya sama. Atau, kata-kata itu dapat diartikan bahwa
wujud ruhani atau fitrat Nabi Besar Muhammad saw. adalah demikian
rupa sehingga seakan-akan beliau diperintahkan supaya memadukan (menghimpun)
di dalam diri beliau saw.segala sifat utama (akhlak fadhilah) yang
terdapat pada pribadi nabi-nabi lainnya.
Perintah yang dikemukakan dengan
kata-kata, “ikutilah petunjuk mereka” itu disebut dalam istilah
keruhanian Amr auni atau Amr khalqi yang berarti satu keinginan
atau sifat yang terdapat pada suatu benda atau orang. Sebagai contoh mengenai
perintah itu lihatlah QS.3:60 dan QS.21:70. itulah sebabnya sehubungan dengan hal tersebut
Nabi Besar Muhammad saw. mendapat gelar “Khaataman Nabiyyiin”
dari Allah Swt.. yang oleh umumnya hanya
diartikan secara keliru sebagai nabi
terakhir atau penutup nabi-nabi, firman-Nya:
الَّذِیۡنَ یُبَلِّغُوۡنَ رِسٰلٰتِ
اللّٰہِ وَ یَخۡشَوۡنَہٗ وَ لَا یَخۡشَوۡنَ اَحَدًا
اِلَّا اللّٰہَ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ حَسِیۡبًا ﴿۴۰﴾
Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di
antara laki kamu, akan tetapi ia
adalah Rasul Allah dan meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (Al-Ahzab [33]:40).
Khaatam
berasal dari kata khatama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan
atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. Adapun arti kedua
ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi
apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah
tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun. Khaatam
berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau meterai dan sebuah
tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda.
Kata itu pun berarti: hiasan atau perhiasan;
terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatm dan khatam hampir
sama artinya (Lexicon Lane, Al-Mufradat Imam Raghib,
Fath-ul-Bari, dan Zurqani). Maka kata khataman
nabiyyiin akan berarti: meterai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna
dari antara nabi-nabi; hiasan dan perhiasan nabi-nabi. Arti kedua ialah nabi
terakhir pembawa syariat.
Penulis
akan mengakhiri artikel dalam
Blog ini dengan firman Allah Swt. di awal Surah Yusuf mengenai hubungan erat
kisah Nabi Yusuf a.s. dengan Nabi Besar Muhammad saw., Allah Swt. berfirman
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
نَحۡنُ نَقُصُّ عَلَیۡکَ اَحۡسَنَ الۡقَصَصِ
بِمَاۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ ٭ۖ وَ اِنۡ کُنۡتَ مِنۡ قَبۡلِہٖ
لَمِنَ الۡغٰفِلِیۡنَ ﴿۴﴾
Kami menceriterakan kepada engkau kisah yang paling baik
dengan mewahyukan kepada engkau Al-Qur-an ini, dan walau pun sebelumnya
engkau benar-benar termasuk orang yang tidak mengetahui. (Yusuf
[12]:4).
TAMAT
Rujukan:
The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid
Pajajaran Anyar, 27 Februari 2011